Hadiah Untuk Guru dan Pegawai
(1) MUQODDIMAH
إِنَّ اْلحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
أَمَّا بَعْدُ:
Sesungguhnya Islam adalah agama yang sempurna. Tidak tersisa suatu lini kehidupan kecuali telah diterangkan hukumnya. Tidak ada yang suatu kebaikan dan jalan yang mengantarkan kepada kebaikan melainkan telah dijelaskan semua dan tidak ada suatu kejelekan dan segala sesuatu yang akan menjerumuskan kepada kejelekan melainkan telah diperingatkan darinya. Tidak diragukan lagi bahwa profesi guru atau pegawai pada suatu sekolah agama merupakan profesi yang sangat mulia karena tugasnya dalam membentuk generasi muda Islam yang sejati.
Dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma bahwasanya Rasululloh r bersabda:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ
Sesungguhnya upah yang lebih pantas kalian ambil adalah dari (mengajarkan) kitabulloh (HR. al Bukhori 5405).Dari Abu Mas’ud al Anshory t Rasululloh r bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Barangsiapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya (HR. Muslim 1893).Namun di balik semua itu para guru dan pegawai juga dituntut untuk bisa menjadi tauladan dalam semua tingkah lakunya. Karena dakwah bil hal lebih meresap daripada dakwah bil lisan. Diantara amanah yang juga harus diemban oleh seorang guru adalah bagaimana bersikap adil terhadap semua anak didiknya karena mereka adalah ibarat “anak-anak kandung”nya sendiri. Oleh karena itu segala hal yang akan mengantarkan kepada sikap “pilih kasih” telah dibendung oleh Syari’at terutama dalam masalah menerima hadiah dari santri maupun wali santri tatkala anak-anaknya masih berstatus murid di pondok ini. Berangkat dari hal tersebut kemudian atas usulan dari Kepala Sekolah SMPIT Putra untuk membahas masalah ini maka kami berusaha mengupasnya secara ringkas dengan memaparkan dalil-dalil serta pendapat para ulama dalam masalah ini. Semoga usaha yang sangat sedikit ini bermanfaat bagi kita semua dan bisa menjadikan kita lebih Wara’ (berhati-hati) dalam setiap aktivitas kita. Wallohul Musta’an.
HUKUM MEMBERI HADIAH KEPADA GURU ATAU PEGAWAI MENURUT AL QUR’AN DAN AS SUNNAH
PENGERTIAN HADIAH
Hadiah adalah harta yang diberikan kepada seseorang tanpa balas jasa sebagai ungkapan penghormatan atau bentuk pemuliaan kepada orang tersebut (Mu’jam Lughotil Fuqoha’ I/493).
Al Hanafiah mendefenisikan hadiah sebagai bentuk kepemilikan suatu benda secara cuma-cuma (Hasyiah Ibnu ‘Abidin 5/687).
Sedangkan menurut as Syafi’iyyah hadiah adalah kepemilikan suatu benda tanpa ada balas jasa bersama dengan pemindahan benda tersebut kepada orang yang diberikan sebagai bentuk penghormatan (Hasyiah ‘Ianatut Tholibin 3/145).
al Hanabilah menjelaskan bahwa hadiah adalah kepemilikan tatkala masih hidup tanpa ada timbal balik (al Mughni 5/649).
Al Malikiah menyebutkan hadiah adalah perpindahan kepemilikan dari orang yang memiliki kepada orang yang diberikan tanpa ada timbal balik (as Syarhus Shogir 4/139-140).
Dalil – dalil disyariatkannya Memberikan Hadiah Alloh Ta’ala berfirman: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta (QS. Al baqarah: 177). Dari Abu Hurairoh t Rasululloh r bersabda:
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
Wahai wanita-wanita muslimah janganlah seseorang meremehkan tetangga yang lain sekalipun hanya memberikan kikil dari kambing (HR. al Bukhori 2427, Muslim 1030).Rasululloh r juga bersabda:
لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ
Seandainya saya diundang untuk memakan kaki (kambing) atau di bawah kaki (kikil) maka saya akan penuhi dan seandainya saya diberikan hadiah kaki kambing atau di bawah kaki maka saya akan terima (HR. al Bukhori 2429).Nabi r juga bersabda:
تَهَادُوا تَحَابُوا
Saling memberilah hadiah niscaya kalian akan saling mencintai (HR. al Bukhori dalam al Adabul Mufrod 549 dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Irwaul Ghalil 6/44).Macam-Macam Hadiah
Hadiah yang halal dari dua pihak (pihak pemberi dan penerima) seperti memberikan hadiah untuk menambah kecintaan.
Haram dari dua pihak seperti memberikan hadiah untuk menolongnya berbuat dzholim Haram bagi yang mengambil saja seperti memberikan hadiah supaya tercegah dari kedzholiman (Hasyiah Ibnu ‘Abidin 4/303, Kasysyaful Qina’ 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243). Diantara Hadiah yang juga terlarang adalah: Hadiah dari orang yang diberikan syafa’at (bantuan suatu keperluan). Dari Abu Umamah t dari Nabi r bersabda:
مَنْ شَفَعَ لأَخِيهِ بِشَفَاعَةٍ فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا
Barangsiapa yang memberikan suatu syafa’at kepada saudaranya kemudian ia diberikan hadiah karena syafa’at tersebut lalu ia menerimanya maka ia telah mendatangi pintu yang besar dari pintu-pintu riba (HR. Ahmad 5/261, Abu Dawud 3541, hadits ini hasan, lihat Shohih at Targhib wat Tarhib 2624).Berkata Syaikh Albani : “Keperluan yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang memang merupakan kewajiban bagi pemberi syafa’at untuk melakukannya seperti bantuan untuk mengangkat suatu kedzholiman kepada hakim atau membantu orang agar ia mendapatkan haknya… Mungkin ada yang terbetik dalam pikirannya hadits ini bertentangan dengan hadits Nabi yang lain:
“Barangsiapa yang memberikan kalian sesuatu yang baik maka balaslah. Jika tidak mampu maka doakan kebaikan sampai kalian yakin telah membalas kebaikannya” (HR. Abu Dawud yang lainnya),
Maka saya katakan: “Tidak ada kontradiksi karena hadits ini dibawa kepada menerima pemberian bukan karena memberikan suatu syafa’at atau bukan karena bantuan yang sifatnya wajib diberikan” (Silsilah as Shohihah 3465). Hadiah dari bawahan atau dari murid kepada guru, pegawai maupun waliyul amri karena jabatan mereka.
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ
Dari Abu Humaid as Sa’idi ia berkata:Rasululloh menugaskan seseorang untuk mengumpulkan zakat Bani sulaim yang dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala ia datang ia menghitungnya seraya berkata: “Ini buatmu dan ini hadiah buat saya”. Maka Rasululloh berkata: “Kenapa kamu tidak duduk menunggu saja di rumah bapakmu atau ibumu sampai datang kepadamu hadiahmu jika kamu memang benar! Kemudian beliau berkhutbah memuji Alloh dan menyanjungnya lalu beliau berkata: “Amma Ba’du, sesungguhnya saya menugaskan seseorang dari kalian untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang Alloh mengembannya kepadaku lalu orang itu berkata: “Ini hartamu dan ini hadiah buatku”. Tidakkah ia duduk saja di rumah bapak atau ibunya sampai datang hadiah kepadanya. Demi Alloh tidaklah kalian mengambil sesuatu dengan cara yang tidak benar kecuali ia akan menemui Alloh pada hari kiamat dengan membawanya pada hari kiamat . dan benar-benar saya mengenal salah seorang kalian akan menemui Alloh dengan memikul dilehernya unta yang bersuara, sapi yang mengaum dan kambing mengembek kemudian beliau mengangkat tangannya sampai kelihatan putih ketiaknya kemudian berkata: “Ya Alloh bukankah telah aku sampaikan” (HR. al Bukhori 6979, Muslim 1832).
Berkata Imam an Nawawi : “Hadits ini menjelaskan bahwa hadiah kepada pegawai haram dan ghulul (seperti mengambil rampasan perang dengan diam-diam) karena dia mengkhianati jabatan dan amanahnya oleh karena itu disebutkan dalam hadits tersebut siksaannya bagaimana mereka akan memikul apa yang dihadiahkan pada hari kiamat sebagaimana disebutkan siksaan hukuman seperti ini bagi yang mengambil diam-diam harta rampasan perang. Nabi menerangkan dalam hadits ini penyebab pengharamannya yaitu karena sebab wilayah (jabatan). Berbeda dengan hadiah kepada yang bukan pegawai maka itu dianjurkan (Syarh shohih Muslim juz 12/219).
Dari Abu Humaid as Sa’idi t bahwa Rasululloh r bersabda: هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُوْلٌ Hadiah pegawai termasuk ghulul (khianat) (HR. al Baihaqi dalam as Sunan as Shugro 3267 dan dishohihkan oleh syaikh Albani dalam shohihul Jaami’ 7021). Dalam Riwayat at Thobroni: الْهَدِيَّةُ إِلَى الإِمَامِ غُلُولٌ Hadiah kepada Imam termasuk ghulul (Shohihul Jaami’ 7054). Imam atau Pegawai yang dimaksud adalah semua orang yang diberikan kepercayaan untuk mengurus urusan kaum muslimin (Hasyiah Roddul Mukhtar 5/514). .
Berkata al Khoththobi: “Hadits ini menjelaskan bahwa hadiah kepada pegawai adalah haram karena ini berbeda dengan hadiah-hadiah yang diperbolehkan yang lainnya. Karena ia diberikan hadiah supaya lebih dekat dan atau meringankan sesuatu bagi yang memberi hadiah atau dibebaskan dari sebagian kewajibannya maka ini termasuk khianat, pelanggaran dari kebenaran yang seharusnya ditunaikan kepada yang berhak” (Ma’alimus Sunan 3/8).
Adapun Rasululloh r menerima hadiah karena itu adalah bentuk kekhususan beliau sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Umar bin Abdil ‘Aziz tatkala beliau menolak untuk menerima hadiah kemudian dikatakan kepada beliau : “Nabi menerima hadiah!?”. Ia berkata: “Memang itu adalah hadiah bagi beliau sedangkan bagi kita termasuk suap karena orang memberikan hadiah kepada beliau sebagai bentuk taqarrub karena kenabian beliau bukan karena kepemimpinan beliau, adapun kita diberikan hadiah sebagai bentuk ‘pendekatan diri’ karena jabatan kita”(Tabshirotul Hukkam 1/30, al Mughni 9/78).
Berkata Syaikh Siddiq Hasan Khan : “Illah (alasan) tidak boleh menerimanya adalah akan mengantarkan kepada risywah (suap/sogokan) baik dalam menghukumi atau dalam perkara yang memang pemimpin tersebut harus melaksanakan sesuai dengan tugasnya” (at Ta’liqot ar Rodhiyyah ‘ala ar Raudhoh an Nadiyah jilid II hal. 530).
PENGERTIAN SUAP (الرِّشْوَةُ)
Berkata Ibnul Atsir Risywah secara bahasa adalah menunaikan suatu hajat dengan memberikan sesuatu kepada orang lain agar orang tersebut membalasnya dengan sesuatu (take and give-pen) (an Nihayah fi ghoribil hadits 2/226). Secara istilah Risywah adalah sesuatu yang diberikan untuk mengalahkan kebenaran atau memenangkan kebatilan (Mu’jamul Wasith 1/348, Tajul ‘arus min jawahiril Qomus juz 38/153, Mu’jam lughotil Fuqoha’ 1/223). Suap diharamkan bahkan termasuk dosa besar. Alloh Ta’ala berfirman: Mereka itu (Orang yahudi) adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (QS. al Maaidah: 42). Ibnu Mas’ud dan yang lainnya mengatakan bahwa as Suhti (Haram) di sini adalah memakan risywah (uang sogokan) ( Tafsir Ibnu Katsir 3/117, Dar Thoyyibah).
Dari Abdulloh bin ‘Umar rodhiyallohu ‘anhuma ia berkata:
لَعَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
Rasululoh r melaknat orang yang memberi suap dan yang menerimanya (HR. at Tirmidzi 1337 dan dishohihkan oleh Syaikh Albani). Dari Buraidah t bahwasanya Nabi r bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
Barangsiapa yang kami amanahi suatu pekerjaan kemudian kami berikan rizqi (gaji) maka apa yang ia ambil lebih dari itu maka termasuk ghulul (khianat) (HR. Abu Dawud 2943, Ta’liq syaikh Albani: “Shohih”). Diharamkan meminta suap, mengusahakannya dan menerimanya sebagaimana juga diharamkan menjadi penghubung antara pemberi suap dengan penerima suap (al Mughni 9/78, Kasysyaful Qina’ 6/316, al Muhalla 9/131, 157). Namun Mayoritas Ulama membolehkan memberi sesuatu sebagai sogokan untuk mendapatkan haknya atau untuk menolak kedzholiman atau bahaya dan dosanya adalah bagi yang menerima bukan yang memberi (Nihayatul Muhtaj 8/243, al Qurthubi 6/183, Ibnu ‘abidin 4/304, al Muhalla 9/157).
KOMENTAR PARA ULAMA SALAF
Berkata Imam as Syafi’i:
فيحتمل قول النبي صلى الله عليه وسلم في ابن اللتبية تحريم الهدية إذا لم تكن الهدية له إلا بسبب السلطان
“
Ada kemungkinan perkataan Nabi dalam kisah Ibnu Luthbiyyah adalah pengharaman hadiah jika sebelumnya tidak pernah diberikan kecuali karena sebab kekuasaan” (al Umm 2/63).Berkata Ibnu ‘Abidin al Hanafiyah:
والاولى في حقهم إن كانت الهدية لاجل ما يحصل منهم من الافتاء والوعظ والتعليم عدم القبول ليكون علمهم خالصا لله تعالى، وإن أهدى إليهم تحببا وتوددا لعلمهم وصلاحهم فالاولى القبول.
“
Yang lebih pantas bagi mereka (Para Mufti, Pemberi tausiyah dan pengajar al Qur’an dan Ilmu) jika hadiah tersebut ada hubungannya dengan fatwa, nasehat dan pengajaran maka sebaiknya tidak diterima agar ilmu mereka murni semata karena Alloh Ta’ala, namun jika mereka diberikan hadiah atas dasar kecintaan dan kasih sayang karena ilmu dan kesholihan mereka maka lebih utama untuk diterima” (Hasyiah Roddul Mukhtar 5/5124).
Berkata Ibnul Qoyyim al Jauziyyah:
وَأَمَّا الْهَدِيَّةُ فَفِيهَا تَفْصِيلٌ , فَإِنْ كَانَتْ بِغَيْرِ سَبَبِ الْفَتْوَى كَمَنْ عَادَتُهُ يُهَادِيهِ أَوْ مَنْ لَا يَعْرِفُ أَنَّهُ مُفْتٍ فَلَا بَأْسَ بِقَبُولِهَا , وَالْأَوْلَى أَنْ يُكَافِئَ عَلَيْهَا , وَإِنْ كَانَتْ بِسَبَبِ الْفَتْوَى , فَإِنْ كَانَتْ سَبَبًا إلَى أَنْ يُفْتِيَهُ بِمَا لَا يُفْتِي بِهِ غَيْرُهُ مِمَّنْ لَا يُهْدِي لَهُ لَمْ يَجُزْ لَهُ قَبُولُ هَدِيَّتِهِ “Adapun masalah hadiah maka ada perincian; Jika hadiah tersebut bukan karena sebab fatwa sebagaimana kebiasaannya diberikan hadiah atau tidak dikenal bahwa orang tersebut adalah seorang mufti maka tidak apa-apa menerimanya dan yang lebih utama adalah membalasnya. Namun jika hadiah tersebut diberikan karena ada hubungannya dengan fatwa yang membuat ia berfatwa berbeda dengan fatwanya kepada orang lain yang tidak memberikan hadiah maka tidak boleh menerima hadiah tersebut” (I’laamul Muwaqqi’in hal. 232).
FATWA- FATWA ULAMA KONTEMPORER
Soal:
Saya adalah guru perempuan (di salah satu madrasah). Pada pertengahan tahun atau akhir tahun tatkala pembagian nilai atau ijazah saya menerima banyak sekali hadiah. Kemudian saya menerimanya setelah mereka merengek dan terkadang mereka mengancam akan jengkel dan kesal kalau tidak diterima. Bolehkan saya menerimanya dan apakah termasuk suap?
Jawab:
Memberikan hadiah kepada guru laki atau perempuan di sekolah negeri atau swasta semakna dengan risywah (suap). Tidak boleh memberikankannya atau menerimanya. Nabi melarang dari menerima hadiah bagi para pegawai sebagaimana yang shohih dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi bahwasanya beliau r bersabda: “Hadiah kepada pegawai adalah Ghulul”. Wabillahit Taufiq. Washallallohu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala ‘Alihi washohbihi wa sallam. Ketua: Syaikh Abdul “Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz Anggota: Syaikh Abdul “Aziz Alu Syaikh Syaikh Sholih al Fauzan Syaikh Abdulloh ibnu al ghudyan Syaikh Bakr Abu Zaid (Fatwa lajnah Daa’imah (Juz 23/583, no. 18039))
Soal :
Saya meminta penjelasan Yang Mulia. Saya adalah salah seorang Mudir madrasah pada salah satu desa yang termasuk wilayah Madinah al Munawwaroh. Walillahil hamd, perkara yang ingin saya terangkan adalah: Bahwasanya penduduk kampung ini adalah Badui yang menisbatkan diri pada Qobilah Arab dan mereka terkenal dengan kemuliaan dan keberanian. Mereka sangat gemar mengundang saya makan siang atau makan malam. Jika saya menolak maka mereka mengirim hewan sembelihan ke tempat tinggal saya. Mereka mengatakan : “Ini wajib engkau dan para guru terima”. Namun saya takut ini termasuk salah satu suap karena yang mengundang saya adalah wali siswa atau orang yang bekerja di sekolah yang tugasnya memindahkan siswa atau karena mereka ingin lebih dekat dengan saya karena saya Mudir dan ada juga yang semata-mata memberi. Apakah saya harus menolak undangan-undangan tersebut atau tidak menerima pemberiannya karena saya merasa sangat berat dengan persoalan ini.
Jawab:
Tidak diperbolehkan bagi pegawai untuk menerima hadiah maupun pemberian termasuk juga Mudir madrasah. Tidak boleh menerima hadiah dari siswa maupun wali mereka karena itu termasuk ghulul yang diharamkan. Dan telah shohih dari Nabi r bahwasanya beliau bersabda: “Hadiah kepada pegawai termasuk ghulul” karena menerima hadiah tersebut akan mengantar kepada ketidakadilan dan memutuskan sesuatu tidak dengan sebenarnya” Ketua: Syaikh Abdul “Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz Anggota: Syaikh Abdul “Aziz Alu Syaikh Syaikh Sholih al Fauzan Syaikh Abdulloh ibnu al ghudyan Syaikh Bakr Abu Zaid (Fatwa juz 23/ 582, no. 20606). Soal: Sekelompok ustadzah mengadakan acara makan-makan untuk memuliakan Mudhiroh (Mudhir sekolah perempuan) dan menghormatinya karena usaha kerasnya memajukan Madrasah dan mereka memberikannya hadiah di akhir tahun Apakah itu diperbolehkan ? Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin menjawab: “Adapun mengundang maka tidak mengapa karena termasuk undangan biasa, adapun memberikan hadiah maka tidak boleh” (Fataawa Nur ‘alad Darbi 14/332, as Syamilah). Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin juga pernah berkata:
فالواجب على الموظفين إذا أهدي لهم هدية فيما يتعلق بعملهم أن يردوا هذه الهدية، ولا يحل لهم أن يقبلوها، سواء جاءتهم باسم هدية، أو باسم الصدقة، أو باسم الزكاة، ولا سيما إذا كانوا أغنياء، فإن الزكاة لا تحل لهم كما هو معلوم
“
Wajib bagi para para pegawai tatkala mereka diberikan hadiah yang ada hubungannya dengan profesinya untuk mengembalikan hadiah ini dan tidak halal baginya untuk menerimanya baik itu dinamakan hadiah, shodaqoh, atau zakat lebih-lebih jika mereka (pegawai) termasuk orang-orang kaya karena zakat tidak halal buat mereka sebagaimana dimaklumi” (Majmu’ Fataawa wa Rosail 18/360).
Soal:
هل يجوز للطالب أن يقدم لأحد أساتذته ومشايخه هدية أو هبة، علماً أن هؤلاء قد أحسنوا إليه بالتعليم والتربية، أفتونا مأجورين؛ لأن بعض الإخوة قد قال بعدم جواز ذلك؛ لأنه يدخل في الرشوة، وجزاكم الله خيراً؟
“
Apakah boleh bagi seorang santri untuk memberikan hadiah atau hibah kepada salah satu ustadz dan guru-gurunya karena mereka sangat baik dalam mengajar dan mendidik. Mohon fatwanya,- semoga Alloh mengganjar antum –karena sebagian teman mengatakan hal tersebut tidak boleh karena masuk ke dalam risywah (suap), Jazaakumullohu khoiron”.
الجواب: الممنوع أن الأستاذ والمدرس يأخذ الهدية من الطالب إذا خاف أنه يميل معه، أي: أنه إذا أهدى إليك مالت نفسك معه، فتقدمه على غيره، وتتغاضى عن هفواته، وتجبر نفسه، وتزيد في درجاته، وتتساهل في التصحيح معه وما أشبه ذلك مما تفضله به على غيره، ففي هذه الحال لا يحق للمدرس أن يقبل من هذا، ولو أنه قد أحسن إليه، ولا يحق للطالب أن يهدي له وهذا غرضه. وأما إذا كان قد انتهى من الدراسة، وانتهى من هذه المدرسة، ونجح منها وعزم على أن ينتقل إلى جامعة أو إلى مدرسة أخرى فلا مانع من أن يهدي إليهم هدايا مكافأة لهم، وأن يستضيفهم ويكرمهم أو يهديهم كتباً، أو يهديهم أقلاماً ثمينة، أو ساعات، أو حقائب، أو كسوة، أو ما أشبه ذلك، وهذا من باب رد الجميل، يعني: رأى منهم حسن معاملة معه ومع غيره، فأراد مكافأتهم
Syaikh Abdulloh bin Jibrin menjawab: “Yang dilarang adalah jika ustadz atau pengajar yang mengambil hadiah dari santri khawatir bahwasanya ia akan lebih condong kepadanya. Maksudnya jika engkau diberikan hadiah maka engkau akan condong kepadanya sehingga engkau lebih mendahulukannya dari murid yang lain, pura-pura lupa akan kesalahannya, sewenang-wenang, menambah nilainya, tidak sungguh-sungguh mengoreksi kesalahannya dan hal lain seperti itu yang menunjukkan bahwa engkau lebih mengutamakan dia dari murid yang lainnya. Jika keadaan seperti ini maka tidak berhak seorang guru menerima hadiah ini sekalipun ia telah berbuat baik kepada muridnya dan tidak berhak bagi sang murid memberikan gurunya hadiah. Inilah maksudnya. Adapun jika telah selesai studi dan telah tamat dari sekolah tersebut serta sudah lulus dan bertekad untuk melanjutkan ke Universitas atau sekolah lain maka tidak mengapa ia memberikan guru-gurunya hadiah sebagai tanda balas jasa. Boleh juga untuk mengundangnya, memuliakannya atau memberikannya hadiah kitab atau pena yang mahal, jam tangan, tas, pakaian atau semisal itu. Ini termasuk balas budi yaitu tatkala dilihat mereka sangat baik mu’amalahnya bersama murid tersebut dan murid yang lain maka sang murid ingin membalas kebaikannya” (Syarh Akhsoril Mukhtashorot fil Fiqhi durus yang ke 64).
KESIMPULAN
Sesungguhnya setiap orang lebih memahami tentang dirinya, Maka meninggalkan sesuatu yang meragukan dalam hati lebih diutamakan. Berkata Hassan ibnu Abi Sinan:
مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَهْوَنَ مِنَ الْوَرَعِ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ
“
Saya tidak melihat sesuatu yang lebih mudah dan menenangkan hati dari kehati-hatian “Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu” (Shohihul Bukhori 2/723 di bawah hadits 1946) Wallohul Muwaffiq.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ اْلحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالمَِيْنَ. سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Ditulis pada hari Sabtu 29 Rojab 1434H atau 08/06/ 2013 Ba’da shubuh. PENYUSUN Abu Yumna ibnu ‘Ali ibnu Qodhi al Atsary (Staf Pengajar Abu Hurairah Mataram)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !